Melihat Ketentuan Penagihan Leasing Saat Pandemi Covid-19

METRO UPDATE.CO.ID–JAKARTA—OJK mengimbau perusahaan pembiayaan tidak menyita kendaraan pada debitur yang baik dan terdampak Covid-19. Jika memang sebelum Covid-19 sudah macet atau bermasalah maka penanganannya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku.

Perusahaan pembiayaan atau multifinance merupakan salah satu industri yang turut terkena imbas dari pandemi Covid-19. Perusahaan pembiayaan harus menghadapi kondisi kesulitan menagih pinjaman kepada debitur karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di sisi lain, perusahaan harus mengembalikan pinjaman modal dan merestrukturisasi kontrak-kontrak debitur yang terdampak Covid-19.

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sekar Putih Djarot, mengatakan pihaknya secara umum mengimbau agar perusahaan pembiayaan tidak melakukan penarikan kendaraan terhadap debitur yang patuh dalam pembayaran. Dia menjelaskan apabila debitur yang patuh tersebut mengalami kendala maka disarankan untuk mengajukan restrukturisasi kepada perusahaan pembiayaan.

Sementara, bagi debitur yang sebelum masa Covid-19 memiliki rekam jejak buruk maka ketentuan penarikan masih diperbolehkan sesuai perundang-undangan.

Sekar menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan asosiasi dan pemerintah daerah untuk menyamakan pemahaman tersebut.“Kami secara umum mengimbau perusahaan pembiayaan untuk tidak melakukan penarikan kendaraan, namun tetap harus dicatat bahwa relaksasi ini ditujukan bagi debitur yang memang sebelumnya, kreditnya baik dan memang terdampak, jika memang sebelum Covid sudah macet atau bermasalah maka penangannya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku. Hal-hal ini yang membuat kami diawal banyak melakukan kordinasi komunikasi dengan asosiasi, pemerintah daerah dan juga pihak terkait lainnya untuk mengurangi ekses-ekses yang terjadi di lapangan,” jelas Sekar 

Dia menjelaskan ketentuan debitur yang dapat merestrukturisasi pinjaman tersebut tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 14/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-bank. Dalam POJK itu menyebutkan adanya penilaian kelayakan oleh perusahaan pembiayaan kepada debitur yang berhak mendapatkan restrukturisasi.

Selain itu, dalam restrukturisasi pinjaman tersebut perusahaan pembiayaan juga harus menghindari terjadinya moral hazard dengan memberikan kepada debitur yang sebelum pandemi Covid-19 sudah bermasalah sehingga status debitur menjadi lancar.

Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank II B Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bambang W Budiawan, mengatakan indikator keuangan industri perusahaan pembiayaan seperti aset, piutang pembiayaan, sumber pendanaan, laba dan aset pengelolaan per Mei 2020 menurun dibandingkan tahun lalu atau year on year (yoy). Selain itu, kondisi non-performing finance (NPF) atau kredit macet meningkat 1,38 persen yoy menjadi sebesar 4,11 persen.

Perusahaan pembiayaan mendapat tanggung jawab mengadakan program restrukturisasi pinjaman kepada debitur terdampak Covid-19. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 dan POJK 14/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Tercatat restrukturisasi perusahaan pembiayaan mencapai 4.823.271 kontrak dengan nilai outstanding pokok Rp 150,43 triliun dan bunga Rp 38,03 triliun.

Bambang mengatakan perusahaan pembiayaan perlu berhati-hati merestrukturisasi pinjaman debitur tersebut untuk menjaga kondisi keuangan perusahaan. “Kondisi kesehatan perusahaan pembiayaan perlu dijaga, sehingga restrukturisasi yang diberikan tidak mengakibatkan kegagalan perusahaan pembiayaan dalam membayar atau memenuhi kewajibannya kepada kreditur perusahaan pembiayaan yang akan memiliki dampak luas bagi stabilitas perekonomian nasional,” jelas Bambang, Rabu (12/8).

Dia menambahkan perusahaan pembiayaan harus mematuhi prinsip-prinsip restrukturisasi terhadap debitur agar terhindar dari moral hazard. Selain itu, perusahaan pembiayaan juga harus mengetahui profil debitur agar mengetahui skema restrukturisasi yang tepat.

Dengan kondisi tersebut, Bambang menjelaskan perusahaan pembiayaan memiliki tantangan menjaga kondisi keuangan agar stabil saat Covid-19. Hal ini karena perusahaan pembiayaan tidak dapat menagih pinjaman kepada debitur secara fisik. Bambang juga mengatakan program restrukturisasi ini mengurangi kemampuan aliran dana perusahaan pembiayaan.  

“Dampak dari restrukturisasi ini berpengaruh pada kapasitas perusahaan pembiayaan kepada customer-customer. Juga dipengaruhi presentase collection. Sementara, collection beradu fisik (tatap langsung) masa pandemi gini dilarang. Ini jadi tantangan besar bagi perusahaan pembiayaan khususnya kegiatan-kegiatan menyangkut collection,” jelas Bambang.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, menjelaskan perusahaan pembiayaan tetap masih bisa menagih debitur-debitur yang bermasalah sebelum pandemi Covid-19 atau Februari 2020. Selain itu, dia juga menambahkan bagi debitur yang telah direstrukturisasi namun bermasalah maka masih bisa dilakukan penagihan.

Sebelumnya, dia juga mengatakan permasalahan penagihan sempat terjadi pada masa awal pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan pembatasan sosial berskala besar dan kebijakan pemerintah daerah yang melarang aktivitas penagihan perusahaan pembiayaan. “Pada masa awal-awal Covid-19, penagihan sulit dikarenakan pandemi Covid-19 dan larangan pemda terhadap perusahaan pembiayaan,” jelas Suwandi.(Sumber Hukum online)

Komentar