Panas Tapi Memikat

Oleh: Zacky Antony

INI BUKAN kursi pejabat eksekutif. Gubernur, bupati, atau walikota. Bukan pula kursi legislatif. Apalagi kursi direksi atau komisaris bank. Kursi-kursi tersebut, baru mendengarnya saja orang sudah terpikat. Terbayang, berapa besar gajinya. Terbayang fasilitas mewahnya, mobil dinas serta anggaran yang wah.

Bukan. Ini adalah kursi Ketua Umum KONI Provinsi Bengkulu. Ini kursi panas yang telah mengantar sejumlah pejabatnya ke ruang pengap hotel prodeo. Panas tapi memikat. Ketua periode sekarang belum diketahui keberadaannya sejak menjadi tersangka, namun kursi yang ditinggalkan sudah menjadi incaran banyak orang.

Ibarat kata pepatah, makin panas, justru makin menarik. Setidaknya tiga bulan terakhir, kursi ketua KONI ramai diperbincangkan. Menjadi bahan diskusi di media sosial, grup-grup WA. Di era digital seperti sekarang, semakin sering diperbincangkan, maka viral lah itu barang. Makin viral, makin menariklah kursi ketua KONI.

Mufran Imran bukan Ketua KONI Bengkulu pertama yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Ketua KONI sebelumnya juga ada yang merasakan getirnya mendekam di balik jeruji besi. Meski demikian, kursi panas Ketua KONI tetap memikat.

Musorprov belum jelas kapan digelar. Namun bursa calon ketua baru semakin ramai di jagad maya. Semakin hari semakin ramai. Sejumlah nama politisi papan atas ikut meramaikan seperti  Ahmad Hijazi (mantan Bupati RL), Dedi Ermansyah (mantan Wagub Bengkulu), Zulkarnain Kaka Jodo (politisi Golkar) dan Sanuludin (Petahana).

Mirip seperti Pilgub lalu, pendukung masing-masing calon bergerak mempromosikan jagoannya. Di beberapa grup WA, tak jarang tim sukses saling berdebat panas. Saling kritik. Saling sindir. Sejauh ini, perdebatan para pendukung masih dalam koridor. Kita berharap terus seperti itu. Kepala boleh panas, tapi hati tetap dingin he he.

Gegap gempita bursa calon Ketum KONI kali ini harus dipandang positif. Prinsipnya, makin banyak pilihan, makin baik. Ketimbang hanya ada satu pilihan. Dulu perebutan kursi Ketua KONI tidak seramai sekarang. Beberapa kali pemilihan, selalu terpilih aklamasi. Karena calon tunggal. Mulai Yuan Rasugi Sang (2015), Yuan De Gama (2016) hingga Mufran Imron (2017), semuanya terpilih aklamasi. Alias tanpa voting.

Ada gula, ada semut. Mana mau semut datang kalau tak ada gula. Kursi Ketum KONI adalah gula diantara kursi-kursi publik lain yang berpeluang diperebutkan tahun ini. Tentu saja gula yang sebenarnya adalah anggaran yang besar di tubuh KONI. Setiap tahun KONI mendapat jatah fulus dari APBD. Miliaran. Ada puluhan cabang olahraga bernaung di bawah KONI. Anggaran pembinaan setiap cabor ada dalam kendali Ketua KONI.

Gula anggaran KONI semakin manis manakala pada tahun berjalan ada multieven olahraga seperti PON atau Porwil. Tapi yang manis-manis biasanya membawa penyakit. Penyakit diabetes atau gula darah sumbernya yang manis-manis. Terbukti, manisnya gula anggaran Porwil tahun lalu berujung status tersangka Ketua Umum KONI.

Gula kursi Ketum KONI yang lain adalah prestise. Namun prestise bukan cuma sekedar untuk menaikkan rating pribadi. Tapi harus dijawab lewat prestasi. Prestise tanpa prestasi adalah kepalsuan. Karena itu, menjadi Ketum KONI sesungguhnya sebuah pengabdian. Tugasnya sangat berat. Meraih prestasi olahraga tidak bisa bim salabim. Tapi butuh kesabaran melalui pembinaan yang panjang dan berkelanjutan.

Kuncinya adalah niat dan orientasi. Niatnya betul-betul ingin mengabdi atau mengejar gula-gula tadi. Orientasinya ingin  menegakkan kesejatian atau mengejar kepalsuan. Apalah arti sekeping medali, kalau atletnya diperoleh dengan cara “membeli”.  Itulah kepalsuan. Bangga dengan milik kita sendiri. Itulah kesejatian.

Selamat berkompetisi untuk para calon Ketum KONI.

Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu

Komentar